Workshop “Bersama Kita Pulihkan Produksi dan Daya Saing Kakao Indonesia “ |
![]() |
![]() |
![]() |
Artikel | |||
Oleh Nur Ajijah | |||
Sabtu, 26 November 2016 09:55 | |||
Dalam rangka hari Kakao dan didorong oleh keprihatinan terhadap kondisi perkakaoan di Indonesia, pada tanggal 25 Nopember 2016 diselenggarakan Seminar dan Workshop dengan tema “Bersama Kita Pulihkan Produksi dan Daya Saing Kakao Indonesia “ bertempat di Gedung Kementerian Perindustrian, Jakarta. Workshop dihadiri oleh berbagai kalangan mulai dari petani, peneliti, pemerhati dan pelaku industri kakao di Indonesia, serta perwakilan dari pemerintah (Ditjenbun) termasuk Balittri. Workshop di buka secara resmi oleh Menteri Pertanian Indonesia yang diwakili oleh Direktur Jenderal Perkebunan, Ir. Bambang, MM. Workshop terutama menyoroti kondisi perkakaoan Indonesia yang terus menurun baik luas areal, produksi maupun produktivitasnya. Direktorat Jenderal Perkebunan mencatat laju penurunan luas areal mencapai -0,353 ha/tahun, produksi sebesar -1,096 ton/tahun dan produkstivitas sebesar -1,033 kg/ha/tahun. Produksi kakao nasional saat ini, menurut Barry Callebaut, bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan industri kakao dalam negeri atau terjadi devisit biji kakao sebesar 95.000 ton sehingga pada akhirnya dipenuhi melalui impor. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya penurunan daya saing produk olahan kakao Indonesia di pasar Internasional. Tiga hal yang menjadi fokus diskusi pada workshop kali ini adalah masalah produksi, perhitungan produksi dan kebijakan. Beberapa faktor disinyalir menjadi penyebab terjadinya penurunan produksi kakao nasional di antaranya: umur tanaman yang sudah tua, umur petani yang sudah tua (tidak ada regenerasi), pemeliharaan tanaman yang tidak optimal, serangan hama dan penyakit, kondisi lahan yang sudah menurun, perubahan iklim, serta minimnya akses petani terhadap saprodi. Replanting atau peremajaan menggunakan klon-klon unggul menjadi suatu keharusan untuk meningkatkan produksi kakao Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan ketersediaan benih unggul sampai di level petani. Salah satu solusinya adalah melalui pengembangan desa mandiri benih. Selain itu diperlukan peningkatan desiminasi dan pendampingan teknologi serta penguatan kelembagaan di tingkat petani, membangun pola kemitraan petani dengan industri, serta penguatan permodalan termasuk di dalamnya subsidi pupuk. Balittri tentu siap untuk memberikan kontribusi dalam upaya-upaya tersebut. (Dani/Nur Ajijah)
|